Makalah Tentang Ijarah
Di Ajukan Untuk Memenuhi Tugas
Perkuliahan Fikih Mumalah
Dosen pengampu :
Oleh
Arifman
Lili Pratiwi 11211202622
PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
FAKULTAS
TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU
2013
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT,
karena atas rahmat dan hidayah-Nyalah kami dapat menyelesaikan makalah ini
tepat pada waktunya. Kemudian
shalawat dan salam kami sanjungkan ke pangkuan Nabi Besar Muhammad SAW, yang dengan
izin Allah telah membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang penuh dengan
ilmu pengetahuan.
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai
salah satu bahan penunjang materi pembelajaran Fikih Muamalah. Melalui makalah
ini kami mencoba memberikan definisi dan pembahasan mengenai “Ijarah”
Kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para
pembaca semua. Sebagai manusia biasa, kami meminta maaf atas ketidak sempurnaan
makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari Bapak Dosen pengampu, para pakar, senior, teman sejawat, dan pembaca lainnya akan kami
terima dengan senang hati.
Wassalam
(Penulis)
(Penulis)
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................ i
DAFTAR ISI....................................................................................... ii
BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG.................................................................... 1
B. RUMUSAN MASALAH............................................................... 1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijarah ......................................................................... ..... 2
A. Pengertian Ijarah ......................................................................... ..... 2
B. Dasar......................................................... ..................................... 2
C. Syarat-syarat Ijarah.......................................................... ............... 4
D.
Pembayaran Upah....................................................................... ..... 14
E.
Sifat Dan Konsekuensi Hukum Ijarah............................................ 14
F.
Jenis Dan Konsekuensi Hukum Ijarah............................................ 15
G.
Tanggung Jawab Orang Yang Menyewa (Ajir)................................ 17
H.
Gugurnya Upah............................................................................ ...... 19
I.
Berakhirnya
Akad Ijarah................................................................ 20
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................... ...... 21
A. Kesimpulan................................................................................... ...... 21
B.
Saran.............................................................................................. ...... 21
DAFTAR PUSTAKA....................................................................... ...... 22
DAFTAR PUSTAKA....................................................................... ...... 22
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Muamalah merupakan
bagian dari rukun islam yang mengatur hubungan antara seseorang dan orang lain.
Salah satu bentuk
kegiatan manusia dalam lapangan muamalah adalah Ijarah. Ijarah sering disebut
dengan “upah” atau “imbalan”. Kalau sekiranya kitab-kitab fiqih sering
menerjemahkan kata Ijarah dengan “sewa menyewa”, maka hal tersebut janganlah
diartikan menyewa sesuatu barang untuk diambil manfaatnya saja, tetapi harus
dipahami dalam arti yang luas.
Transaksi ijarah di landasi adanya pemindahan manfaat (hak guna), bukan
pemindahan kepemilikan (hak milik). Jadi pada dasarnya prinsip ijarah sama saja prinsip jual beli.
B.
Rumusan Masalah
1. Mendefinisikan Ijarah?
2. Menyebutkan syarat Ijarah Ijarah?
3. Menyebutkan berapa macam pembagian dan hukum Ijarah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ijarah
Ijarah dari ujrah yang berarti upah. Yaitu memberi upah kepada
seseorang setelah mengerjakan pekerjaan tertentu akan sampai waktu yang
tertentu.[1]
Akad ijarah berbeda dengan transaksi jual beli karena
sifatnya temporal, sedangkan jual beli bersifat permanen karena pengaruhnya
dapat memindahkan kepemilikan suatu barang.[2]
B.
Dasar
Dasar yang membolehkan upah, firman Allah dan sunnah Rasul-Nya.
Firman
Allah :
÷bÎ*sù
z`÷è|Êör&
ö/ä3s9
£`èdqè?$t«sù
£`èduqã_é&
(
Artinya:
“Kemudian
jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka
upahnya”. (Ath Thalaq : 6).
Sabda Nabi SAW.
ثلاثة
أنا خصمهم يوم القيا مة : رجل اعطى بى ثمﱠ غد ر. ورجل باع حرﱠا فاكل ثمنه, ورجل استأجراجيرﱠا فا ستو فى منه ولم يعطه اجر ه
.
(رواه البخارى)
Artinya:
“Tiga
orang (golongan) yang aku memusuhinya besok di hari kiyamat, yaitu orang yang
memberi kepada-ku kemudian menarik kembali, orang yang menjual yang merdeka
kemudian makan harganya, orang yang mengupahkan dan telah selesai tetapi tidak
memberikan upahnya”. (HR. Bukhari).[3]
Sabda Nabi saw.
اعطوا
الا جير قبل ان يجف عرقه (رواه ابن ماجه).
Artinya: “Berikan kepada buruh ongkosnya sebelum kering peluhnya”.
(HR. Ibnu Majah).
Dalam hal upah, memberikan upah setelah ada ganti dan yang diupah
tidak berkurang nilainya. Seperti: memberi upah kepada orang yang menyusui.
Upah ini diberikan sebab menyusui, tidak karena air susunya, tetapi
mengerjakannya. Sebagaimana orang menyewa rumah, didalamnya ada sumur. Boleh
mengambil air sumur, dan nilai rumah dan sumur tidak berkurang. Tidak boleh
menyewakan dengan mengurangkan nilai yang disewa. Seperti menyewa kebun yang
berbuah, menyewa kambing karena susunya atau ambil anaknya. Sebab yang
demikiaan mengurangkan nilainya. Juga tidak menyewakan barang-barang yang
bermanfaat atau barang-barang yang dilarang. Sebab termasuk makan yang batal.
Tidak boleh memberi upah kepada penyanyi, dan orang membawa khamr. Upah harus
jelas. Artinya sebelum pekerjaan dilaksanakan, harus sudah ada ketentuan yang
pasti, tidak boleh gharar. Semua benda yang membawa manfaat tanpa mengurangi
nilainya, boleh disewakan, seperti:rumah, kendaraan, tanah untuk ditanami. Yang
diupahkan mesti membawa manfaat yang jelas. Maka tidak boleh mengupahkan orang
buta untuk menjaga sesuatu, juga tanah yang tidak berair sehingga tidak dapat
ditanami dan lain-lain.[4]
C.
Syarat-syarat Ijarah
Dalam akad ijarah ada empat macam syarat sebagaimana dalam akad
jual beli, yaitu syarat wujud (syarth al-in’iqaad), syarat yang berlaku (syarth
an-nafaadz), syarat sah (syarth ash-sih-hah), dan syarat kelaziman (syarth
al-luzuum).
1.
Syarat wujud (syarth al-in’iqad)
Ada tiga macam syarat wujud; sebagian berkaitan dengan pelaku akad,
sebagian berkaitan dengan akad sendiri, dan sebagian lagi berkaitan dengan
tempat akad.[5]
Syarat yang berkaitan dengan pelaku akad, yaitu berakal (pelaku akad orang
berakal). Sebagaimana dalam jual beli, akad ijarah yang dilakukan oleh
orang gila, atau anak kecil tidak mumayyiz adalah tidak sah. Menurut
ulama Hanafiyah, mencapai usia balig tidak termasuk syarat wujud atau syarat berlaku. Jika ada
anak kecil mumayyiz yang menyewakan harta atau dirinya, maka apabila
diizinkan oleh walinya maka akad itu dianggap sah; dan apabila ia dibatasi hak
membelanjakan hartanya, maka tergantung pada izin walinya.[6] Ulama Malikiyah berpendapat bahwa
mencapai usia mumayyiz adalah syarat dalam ijarah dan jual beli,
sedangkan balig adalah syarat berlaku (syarth an-nafaadz). Jika ada anak
yang mumayyiz menyewakan diri atau hartanya, maka hukumnya sah dan akad
itu digantungkan pada kerelaan walinya.[7]
Adapun ulama Syafi’iyah dan
Hanabilah berpendapat bahwa syarat taklif (pembebanan kewajiban syariat), yaitu
balig dan berakal, adalah syarat wujud akad ijarah karena ia merupakan
akad yang memberikan hak kepemilikan dalam kehidupan sehingga sama dengan jual
beli.[8]
2.
Syarat Berlaku (Syarth an-Nafaadz)
Syarat berlaku akad ijarah adalah adanya hak kepemilikan
atau kekuasaan (al-wilaayah). Akad ijarah yang dilakukan oleh seorang fudhuli
(orang yang membelanjakan harta yang tanpa izinnya,) adalah tidak sah
karena tidak adanya kepemilikan atau hak kuasa. Menurut Hanafiyah dan malikiyah,
akad ini digantungkan pada persetujuan dari pemilik sebagaimana berlaku dalam
jual beli.hal ini berbeda dengan pendapat ulama Syafi’iyah dan Hanabilah.
Terdapat beberapa syarat agar sebuah persetujuan dari pemilik dapat
berlaku pada akad ijarah yang tergantung, diantaranya adanya wujud objek
ijarah. Jika ada seorang fudhuli melakuakan akad ijarah
lalu mendapatkan persetujan dari pemilik, maka perlu diperhatikan hal berikut.[9]
Jika persetujuan akad tersebut terjadi sebelum manfaat barang
digunakan, maka akad ijarah itu sah dan pemilik barang berhak atas
upahnya karena objek akadnya ada.
Sebaliknya, jika persetujuan atas akad terjadi setelah manfaat
barang digunakan, maka akad itu tidak sah dan upah dikembalikan ke pelaku akad,
karena objek akad telah lenyap sehingga tidak ada pada saat pelaksanaan akad ijarah.
Maka akad itu menjadi ridak ada karena tidak terdapat objek akadnya sehingga
akad ijarah-nya tidak sah–sebagaimana yang kita ketahui dalam akd jual
beli. Dengan demikian, pelaku akad fudhuli dianggap sebagai pelaku ghashab
ketika ia mengembalikan barang kepada pemiliknya.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa jika pelaku ghashab
menyewakan barang ghashab lalu menyerahkannya kembali kepada pemiliknya
dan ia menyetujui penyewaan itu, maka jika waktu ijarah telah habis,
upah adalah hak pelaku ghashab karena objek akad telah lenyap dan
persetujuan pemilik tidak berlaku pada sesuatu yang tidak ada.[10]
3.
Syarat Sah (syarth ash-shihhah)
Syarat sah ijarah berkaitan dengan pelaku akad, objek akad,
tempat, upah, dan akad itu sendiri. Diantara syarat sah akad ijarah
adalah sebagai berikut.
a.
Kerelaan Kedua Pelaku Akad
Syarat ini diterapkan sebagaimana dalam akad jual beli. Allah
berfirman,
“Wahai orang-orang yang beriman!
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak
benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka
diantara kamu . dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah maha penyayang
kepadamu.” (an-Nisaa’ :
29)
Ijarah disebut juga tijarah (perdagangan) karena didalamnya ada
nilai pertukaran harta dengan harta.[11]
b.
Hendaknya Objek Akad (Yaitu Manfaat) Diketahui Sifatnya Guna
Mengindari Perselisihan
Jika manfaat itu tidak jelas dan menyebabkan perselisihan, maka
akadnya tidak sah karena ketidakjelasan menghalangi penyerahan dan penerimaan
sehingga tidak tercapai maksud akad tersebut. Kejelasan objek akad (manfaat)
terwujud dengan penjelasan tempat manfaat, masa waktu, dan penjelasan objek
kerja dalam penyewaan para pekerja.
1). Penjelasan Tempat Manfaat
Penjelasan tempat manfaat adalah dengan mengetahui barang yang
disewakan. Jika ada orang berkata, “Saya sewakan salah satu dari rumah ini atau
salah satu kendaraan ini atau salah satu pekerjaan ini,” maka hukum akad ini
tidak sah karena adanya ketidakjelasan dalam barang yang disewakan. Menurut
pendapat ulama Hanafiyah yang masyur, yaitu perkataan Abu Hanifah dan Abu
Yusuf, tidak boleh seseorang menyewa sungai kering atau tempat tertentu untuk
mengalirkan air guna mengairi tanahnya. Karena ukuran banyak sedikitnya air
yang dialirkan kesungai tersebut adalah berbeda. Air dalam jumlah banyak dapat
membahayakan sungai itu. Sesuatu yang berbahaya tentu saja dikecualikan dalam
akad secara tidak langsung. Sedangkan jumlah sedikitnya air tidak memiliki
ukuran yang tepat. Dengan demikian, tempat akad tersebut statusnya tidak jelas.
Adapun menurut Muhammad, hukumnya adalah boleh. Hal yang
menghalangi dibolehkannya akad adalah ketidakjelasan tempat dan ketidakjelasan
itu sudah hilang dengan penentuan.[12]
2). Penjelasan Masa Waktu
Penjelasan masa waktu adalah hal yang sangat penting dalam
penyewaan apartemen, rumah, toko, dan dalam penyewaan seorang perempuan untuk
menyusui. Hal itu karena objek akad menjadi tidak jelas kedarnya kecuali dengan
penentuan waktu tersebut. Oleh karena itu, tidak menyebutkan masa waktu akan
menyebabkan pertikaian.
Ijarah hukumnya sah, baik dalam waktu yang panjang maupun pendek.
Ini adalah pendapat mayoritas ulama, termasuk ulama syafi’iyah dalam pendapat
yang shahih. Mereka mengatakan bahwa akad ijarah adalah sah dalam waktu yang
diperkirakan bahwa barang tersebut masih eksis menurut pandangan para ahli.
Masa penyewaan tidak ada batas terlamanya karena ada ketentuannya dalam syar’i.[13]
3). Ijarah Musyaharah (Penyewaan Perbulan)
Syafi’iyah sangat ketat dalam mensyaratkan waktu. Dalam pendapat
shahihnya, mereka mengatakan bahwa jika ada seseorang menyewakn rumah setiap
bulan satu dinar, atau setiap hari, atau setiap jum’at atau satiap tahun, maka
akad ijarahnya batal. Hal iti karena setiap bulan ia membutuhkan akad baru
karena ia telah menyendirikan upah untuk setiap bulannya. Dan, akad perbulan
tersebut tidak ada sehingga akad pertama menjadi batal. Ditambah lagi masa
waktu ijarah tidak jelas sehingga hal ini seperti jika seseorang mengatakan,
“Saya sewakan kepadamu sebentar atau sebulan.
Adapun menurut mayoritas ulama, akad ijarah itu dianggap sah pada
bulan pertama dan statusnya mengikat. Sedangkan bulan-bulan setelahnya tidak mengikat
kecuali setelah masuk pada bulan-bulan itu. Karena dengan masuknya
kebulan-bulan itu dan telah adanya akad yang berisi kesepakatan upah dan
kerelaan penggunaan barang sewa, maka hal itu dianggap memulai akad lagi. Hal
ini seperti dalam jual bali mu’athah (jual beli tanpa sighah ijab dan qabul,)
jika dalam proses tawar-menawar terdapat unsur kerelaan darinya.
4). Penjelasan Objek Kerja
Penjelasan objek kerja dalam penyewaan tenaga kerja adalah sebuah
tuntutan untuk menghindari ketidakjelasan. Hal itu karena ketidakjelasan objek
kerja dapat menyebabkan perselisihan dan mengakibatkan rusaknya akad.
5). Penentuan Waktu Dan Objek Kerja Sekaligus
Menurut ulama Hanafiyah, penentuan jenis kerja dalam penyewaan
manfaat barang tidak disyaratkan. Sehinnga, apabila ada orang menyewa rumah
atau toko dan tidak menyebutkan apa yang
akan kita kerjakan didalammya, maka hukumnya boleh.[14]
c.
Hendaknya Objek Akad Dapat Diserahkan Baik Secara Nyata (Hakiki)
Maupun Syara
Menurut sepakan fuqaha, akad
ijarah tidak dibolehkan terhadap sesuatu yang tidak dapat diserahkan,
baik secara nyata (hakiki).[15]
d.
Hendaknya Manfaat yang Dijadikan Objek Ijarah Dibolehkan Secara
Syara
Hendaknya manfaat yang dijadikan objek ijarah dibolehkan secara
syara. Contohnya, menyewakan kitab untuk ditelaah, dibaca, dan disadur;
menyewakan apartemen untuk ditempati; jaring untuk berburu, dan sebagainya.
e.
Hendaknya Pekerjaan yang Ditugaskan Bukan Kewajiban Bagi Penyewa
Sebelum Akad Ijarah
Implikasi dari syarat ini, tidak sah ijarah dari mengerjakan
kewajiban karena seseorang melakukan kewajibannya tidak berhak mendapatkan upah
dari pekerjaaan itu, seperti orang yang membayar utangnya. Sehingga tidak sah
melakukan ijarah untuk amalan ibadah dan ketaatan, seperti shalat, puasa, haji,
menjadi imam, adzan, dan mengajarkan Al-Qur’an karena itu adalah penyewa dalam
amalan wajib.
1)
Hukum Mengambil Upah dari Ibadah
عن
عبد الرﱠ حمن بن شبل, عن اانبي ﷺ قال : اقرءوا القرﺁن ولأ تغلوا فيه ولأ تجفوا عنه, ولأ تأ كلوا به
ولأ تستكثروا به (رواه أحمد)
Dari
Abdurrahman Bin Syibl RA, dari Nabi SAW, “Bacalah Al- Qur’an dan jangan kalian berlebihan padanya
tapi jangan pula kendur terhadapnya. Janganlah kalian makan dari (upahnya), dan
janganlah banyak meminta dengannya.” (HR. Ahmad).
Pensyarah Rahimahullah Ta’ala mengatakan: Hadits-hadits di atas
dijadikan dalil oleh mereka yang menganggap tidak halalnya mengambil upah dari
mengajarkan Al-Qur’an. Adapun Jumhur berpendapat halalnya mengambil upah dari
mengajarkan Al-Qur’an.
Disebutkan dalam Al-Iktiyarat: Mengambil upah dari sekedar membaca
Al Qur’an tidak pernah dikatakan oleh seorang imam pun. Adapun yang mereka
perselisihkan adalah mengambil upah dari mengajarkan Al Qur’an.[16]
Lalu para ulama belakangan berfatwa dibolehkannya seorang pengajar
Al-Qur’an mengambil upah yang sepadan sesuai dengan masanya dalam mengajarkan
Al-Qur’an.
Menurut Imam Malik dan Imam Syafi’i, dibolehkan melakukan ijarah
dalam mengajarkan Al-Qur’an karena objek kerjanya jelas dan upahnya juga jelas.
Selain itu, Rasulullah pernah menikahkan seseorang dengan Al-Qur’an sebagai
maharnya. Sehingga dibolehkan menjadi Al-Qur’an barang pengganti. Rasulullah
juga bersabda,
“Sesungguhnya sesuatu yang paling berhak engkau ambil upah darinya
adalah (mengajarkan) Al-Qur’an. (Hadits shahih).[17]
f.
Orang yang Disewa tidak Boleh Mengambil Manfaat dari Pekerjaannya
Jika ia mengambil manfaat, maka tidak dibolehkan. Tidak sah ijarah
untuk ketaatan kerena ia mengerjakan untuk kepentingan sendiri.
g.
Manfaat dari Akad Itu Harus Dimaksudkan dan Biasa Dicapai Melalui
Akad Ijarah
Tidak dibolehkan menyewakan pohon untuk menjemur pakaian dan
berteduh karena manfaat itu tidak dimaksudkan dari kegunaan pohon tersebut.[18]
4.
Syarat Kelaziman
Syarat-syarat luzuum transaksi harus diperhatikan setelah
syarat-syarat sah dan berlakunya transaksi setelah terpenuhi. Dimaksudkan dengan syarat luzuum transaksi adalah
transaksi yang dilakukan oleh kedua belah pihak pihak lolos dari pemberlakuan
hak untuk meneruskan atau membatalkan transakasi oleh salah satu pelaku
transaksi seperti hak khiyar syarth (meneruskan atau membatalkan
transaksi karena salah seorang dari pelaku transaksi atau keduanya mensyaratkan
adanya hak bagi keduanya untuk membatalkan transaksi samapi waktu yang
tertentu).[19]
Disyaratkan dua hal dalam akad ijarah agar akad ini menjadi lazim
(mengikat).
a.
Terbebasnya barang yang disewakan dari cacat yang merusak
pemanfaatannya.
b.
Tidak terjadi alasan yang membolehkan mem-fasakh (membatalkan)
ijarah.[20]
5.
Syarat Objek Akad
Apabila objek akad termasuk barang bergerak, maka disyaratkan
terjadinya penerimaan. Jika tidak, maka hukumnya tidak sah. Hal ini karena Nabi
saw. melarang jual beli barang yang belum diterima. Dan ijarah adalah salah
satu bentuk jual beli. Adapun objek akad adalah barang yang tidak bergerak,
maka terdapat perbedaan yang telah disebutkan dalam pembahasan jual beli fasid.
6.
Syarat-syarat Ujrah (Upah)
Ada dua macam, yaitu sebagai berikut,
a.
Hendaknya upah tersebut harta yang bernilai dan diketahui.
b.
Upah tidak berbentuk manfaat yang sejenis dengan ma’quud
Alaih(objek akad).[21]
D.
Pembayaran Upah
Pada dasarnya upah diberikan seketika juga, sebagimana jual beli
yang pembayarannya waktu itu juga. Tetapi sewaktu perjanjian boleh diadakan
dengan mendahulukan upah atau mengakhirkan. Jadi pembanyarannya sesuai dengan
perjanjiannya. Tetapi kalau ada perjanjian, harus segera diberikan manakala
pekerjaan sudah selesai. Nabi berkata : upah harus diberikan sebelum pelunya
kering.[22]
E.
Sifat Dan Konsekuensi Hukum Ijarah
1.
Sifat Ijarah
Ijarah menurut ulama Hanafiyah adalah akad lazim (mengikat), hanya
saja boleh di batalkan (fasakh) dengan sebab adanya uzur, seperti yang telah
diketahui. Hal ini didasarkan pada firman Allah,
..”...Penuhilah
janji-janji..” (al-Maidah:1)
Secara hukum asal, fasakh bukanlah termasuk dalam memenuhi akad.
Sedangkan menurut mayoritas (jumhur) ulama, ijarah adalah akad
lazim (mengikat) yang tidak dapat dibatalkan kecuali dengan hal-hal yang dapat
membatalkan akad-akad lazim, seperti cacat atau hilangnya objek manfaat. Hal
ini berdasarkan firman Allah,
..”...Penuhilah janji-janji..” (al-Maidah:1)
Selain itu karena akad ijarah adalah akad terhadap manfaat maka ia
mirip dengan nikah. Dan, karena ia adalah akad mu’awadhah (tukar-menukar) maka
tidak dapat dibatalkan seperti jual beli.[23]
2.
Konsekuensi Hukum Ijarah
Konsekuensi hukum ijarah yang shahih adalah penetapan hak
kepemilikan manfaat bagi penyewa dan penetapan hak kepemilikan upah yang
disepakati bagi orang yang menyewakan. Hal itu karena ijarah adalah akad
mu’awadhah (tukar-menukar) karena ia adalah jual beli manfaat.
Konsekuensi hukum ijarah yang tidak sah adalah jika penyewa telah
mengambil manfaat maka ia wajib membayar upah yang berlaku umum, yaitu tidak
melebihi upah yang telah ditetapkan.
F.
Jenis Dan Konsekuensi Hukum Ijarah
1.
Hukum Ijarah Manfaat
Ijarah manfaat seperti ijarah rumah, warung, kebun, binatang
tunggangan untuk ditunggangi dan membawa barang, pakaian dan perhiasan untuk
dipakai, wadah dan bejana untuk digunakan.
a.
Cara Tercapainya Akad Ijarah Manfaat
Ulama Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa tercapai sedikit
demi sedikit mengikuti muncul dan adanya objek akad, yaitu manfaat. Hal itu
karena manfaat tersebut terjadi atau diambil secara sedikit semi sedikit.
b.
Cara Memanfaatkan Barang Yang Disewakan
Jika seseorang menyewa rumah atau toko dan sebagainya, maka dia
boleh memanfaatkannya sesuai dengan keinginannya, seperti menempatinya sendiri
atau memberikan izin orang lain untuk menempatinya dengan akad ijarah atau
i’arah.
c.
Memperbaiki Barang Yang Disewakan
Rumah yang disewakan terkadang memerlukan beberapa perbaikan dalam
masa penyewaan, seperti menambal tembok, memperbaiki saluran air yang tersumbat
dan peralatan sanitasi yang rusak.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa
orang yang menyewakan atau pemilik rumah – bukan penyewa –yang wajib
menambal tembok, memperbaiki saluran-saluran air rumah serta bangunan yang
hancur dan runtuh, hingga menjadi layak untuk dimanfaatkan kembali.[24]
d.
Kewajiban Penyewa Setelah Habisnya Masa Ijarah
1). Penyewa wajib menyerahkan kunci rumah dan toko kepada orang
yang menyewakan setelah habis masa sewa.
2). Hukum Ijarah Manfaat
Ijarah atas pekerjaan adalah penyewaan yang dilakukan atas
pekerjaan tertentu, seperti membangun bangunan, menjahit baju, membawa barang
ketempat tertentu, mewarnai baju, memperbaiki sepatu dan sebagainya.[25]
G.
Tanggung Jawab Orang Yang Menyewa (Ajir)
Orang yang menyewa harus jujur, dapat dipercaya, dan memakai barang
sewaannya dengan hati-hati. Kalau dengan cara yang demikian ada kerusakan, maka
ia tidak berkewajiban menanggung. Demikian juga orang yang diupah harus jujur
dalam melaksanakan pekerjaannya. Kalau tidak ada kejujuran, kerusakan-kerusakan
yang disengaja menjadi tanggungannya. Seperti orang menyewa binatang. Ia
mengerjakan dengan baik, tiba-tiba mati, ia tidak menanggung. Tetapi apabila ia
menggunakannya tanpa kebaikan, apabila mati menjadi tanggungannya. Denagn
demikian tidak akan ada tipu muslihat untuk merugikan yang lain.[26]
Adapun membebankan tanggung jawab kepada pembuat sesuatu atas
keruskan barang-barang yang telah diserahkan kepada mereka, para ulama berbeda
pendapat mengenai hal tersebut:
1.
Malik, Ibnu Abu Laila, dan Abu Yusuf berpendapat bahwa meraka (pembuat barang)
bertanggung jawab terhadap apa yang rusak ditangan mereka.
2.
Abu Hanifah berpendapat bahwa para pembuat barang yang tidak
mendapatkan upah atau orang khusus, tidak terkena tanggung jawab, sedangkan
pembuat barang yang biasa membuat barang untuk orang lain dan mendapatkan upah
maka ia terkena tanggung jawab atas kerusakan yang terjadi.
Orang
yang k husus menurut mereka adalah pekerja yang ada dirumah penyewa.[27]
a.
Garansi Barang Yang Disewakan, Jaminan Pekerja, Dan Gugurnya Upah
Karena Kerusakan Barang.
1). Jaminan barang yang disewakan
Kuasa penyewa atas barang yang disewakan dalam ijrah manfaat
dianggap sebagai kekuasaan yang bersifat amanah (yad amanah).
2). Jaminan pekerja
Kita telah mengetahui bahwa pekerja yang disewa ada dua macam,
yaitu pekerja khusus (ajir khash) dan pekerja umum (ajir ‘am). Pekeja khusus
adalah orang yang berhak memperoleh upah dengan menyerahkan dirinya pada masa
tertentu, sekalipun tidak bekerja, seperti pembantu rumah dan penjaga toko.
Sedangkan pekerja umum adalah orang yang bekerja untuk umum atau orang yang
mendapat upah dengan sebab penyerahan dirinya, seperti pengrajin, tukang warna
pakaian, tukang pemutih pakaian dan sebagainya.[28]
H.
Gugurnya Upah
Kematian orang yang mengupah atau yang diupah tidak membatalkan
akad pengupahan. Artinya: kalau orang yang mengupah mati, padahal permintaanya
sudah dikerjakan oleh orang yang diupah, keluarganya wajib memberikan upahnya.
Tetapi kalau orang yang diupah mati sebelum menerima upahnya, ahli warisnya
menerima upahnya. Tetapi kalau mati sebelum menyelesaikan pekerjaannya,
urusannya ditangan Tuhan.
Kalau yang diupahkan rusak, umpamanya : binatang mati, kain sobek,
bisa dilihat. Kalau rusaknya setelah diserahkan kepada yang mengupah namun
belum mencukupi ketentuan pekerjaan (yang harus dikerjakan) akad itu menjadi
batal. Tetapi kalau sudah mencukupi ketentuannya, tidak batal, namun batal
untuk yang akan datang.[29]
a.
Gugurnya Upah Pekerja Karena Kerusakan Barang Penyewaan Pekerjaan
Jika barang berada dibawah kekuasaan pekerja, maka terdapat dua hal
berikut.
1). Jika pekerja itu memiliki hasil yang jelas pada fisik barang,
seperti menjahit, mewarnai dan
memutihkan kain, maka wajib memperoleh upah dengan penyerahan hasil yang
diminta. Tetapi, jika barangnya rusak ditangan pekerja sebelum adanya
penyerahan, maka upahnya hilang (gugur).
2). Jika pekerjaan tersebut tidak memiliki hasil yang jelas dalam
fisik barang, seperti tukang panggul dan pelaut, maka wajib memperoleh upah
dengan hanya menyelesaikan pekerjaannya, sekalipun belum menyerahkan fisik
barang kepada pemiliknya.
I. Berakhirnya Akad Ijarah
Pertama, ijarah habis - menurut ulama Hanafiyah, seperti telah kita
ketahui dalam pembahasan sifat ijarah-, dengan meninggalnya salah satu pelaku
akad.
Kedua, ijarah juga habis dengan adanya pengguguran akad (iqalah).
Hal itu karena akad ijarah adalah akad mu’awadhah (tukar-menukar) harta dengan
harta, maka dia memungkinkan untuk digugurkan seperti jual beli.
Ketiga, ijarah habis dengan rusaknya barang yang disewakan.
Keempat, ijarah habis dengan sebab habis masa ijarah kecuali karena uzur (halangan), karena sesuatu yang
ditetapkan sampai batas tertentu maka ia dianggap habis ketika sampai pada
batasnya itu.[30]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pada dasarnya, ijarah di
defnisikan sebagai hak untuk memanfaatkan barang atau jasa dengan membayar
imbalan tertentu. ada yang menerjemahkan, ijarah sebagai jual beli jasa
(upah-mengupah), yakni mengambil manfaat tenaga manusia, ada pula yang
menerjemahkan sewa-menyewa, yakni mengambil manfaat dari barang.
Dalam akad ijarah ada empat macam syarat sebagaimana dalam akad
jual beli, yaitu syarat wujud (syarth al-in’iqaad), syarat yang berlaku (syarth
an-nafaadz), syarat sah (syarth ash-sih-hah), dan syarat kelaziman (syarth
al-luzuum).
B.
Saran
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kami berharap semoga makalah ini bisa menjadi inspirasi dan
motivasi agar teman-teman bisa membuat makalah yang lebih sempurna.
DAFTAR PUSTAKA
Al
Imam Asy-syaukani, 2006, Nailul Autar, Jakarta : Pustaka Azzam.
Drs. Moh. Rifa’i – Drs. Moh. Zuhri – Drs. Salomo, 1978, Rifayatul Akhyar, Semarang : PT. Karya
Toha Putra.
Ibnu
Rusyd 2, Bidayatul Mujtahid, 2011, Jakarta : Pustaka Azzam.
Prof. DR. Wahbah Az-Zuhaili, 2007,
Fiqih Islam Wa Adillatuhu
jilid 5, Jakarta : Darul Fikir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar