Kamis, 16 Oktober 2014

Fikih Muamalah


Makalah Tentang Ijarah
Di Ajukan Untuk Memenuhi Tugas
Perkuliahan Fikih Mumalah



Dosen pengampu :


Oleh

Arifman
Lili Pratiwi     11211202622

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU
2013

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nyalah kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Kemudian shalawat dan salam kami sanjungkan ke pangkuan Nabi Besar Muhammad SAW, yang dengan izin Allah telah membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai salah satu bahan penunjang materi pembelajaran Fikih Muamalah. Melalui makalah ini kami mencoba memberikan definisi dan pembahasan mengenai “Ijarah
Kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca semua. Sebagai manusia biasa, kami meminta maaf atas ketidak sempurnaan makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari Bapak Dosen pengampu, para pakar, senior, teman sejawat, dan pembaca lainnya akan kami terima dengan senang hati.






         Wassalam

           (Penulis)


i

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................           i
DAFTAR ISI.......................................................................................           ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG....................................................................          1
B. RUMUSAN MASALAH...............................................................           1

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijarah  ......................................................................... .....       2
B. Dasar......................................................... .....................................           2
C. Syarat-syarat Ijarah..........................................................  ...............         4
D.  Pembayaran Upah.......................................................................   .....       14
E.   Sifat Dan Konsekuensi Hukum Ijarah............................................           14
F.   Jenis Dan Konsekuensi Hukum Ijarah............................................           15
G.  Tanggung Jawab Orang Yang Menyewa (Ajir)................................         17
H.  Gugurnya Upah............................................................................  ......      19
I.     Berakhirnya Akad Ijarah................................................................            20
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................... ......      21
B. Saran..............................................................................................            ......      21

DAFTAR PUSTAKA
....................................................................... ......      22                  
            ii

BAB I
PENDAHULUAN

A.          Latar Belakang

Muamalah merupakan bagian dari rukun islam yang mengatur hubungan antara seseorang dan orang lain.
Salah satu bentuk kegiatan manusia dalam lapangan muamalah adalah Ijarah. Ijarah sering disebut dengan “upah” atau “imbalan”. Kalau sekiranya kitab-kitab fiqih sering menerjemahkan kata Ijarah dengan “sewa menyewa”, maka hal tersebut janganlah diartikan menyewa sesuatu barang untuk diambil manfaatnya saja, tetapi harus dipahami dalam arti yang luas.
Transaksi ijarah di landasi adanya pemindahan manfaat (hak guna), bukan pemindahan kepemilikan (hak milik). Jadi pada dasarnya prinsip ijarah sama saja prinsip jual beli.

B.           Rumusan Masalah

1.      Mendefinisikan Ijarah?
2.      Menyebutkan syarat Ijarah  Ijarah?
3.      Menyebutkan berapa macam pembagian dan hukum Ijarah?



BAB II
PEMBAHASAN

A.               Pengertian Ijarah
Ijarah dari ujrah yang berarti upah. Yaitu memberi upah kepada seseorang setelah mengerjakan pekerjaan tertentu akan sampai waktu yang tertentu.[1]
Akad ijarah berbeda dengan transaksi jual beli karena sifatnya temporal, sedangkan jual beli bersifat permanen karena pengaruhnya dapat memindahkan kepemilikan suatu barang.[2]

B.               Dasar
Dasar yang membolehkan upah, firman Allah dan sunnah Rasul-Nya.
Firman Allah :
÷bÎ*sù z`÷è|Êör& ö/ä3s9 £`èdqè?$t«sù £`èduqã_é& (
Artinya:
“Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya”. (Ath Thalaq : 6).


Sabda Nabi SAW.
ثلاثة أنا خصمهم يوم القيا مة : رجل اعطى بى ثم غد ر. ورجل باع حرا فاكل ثمنه, ورجل استأجراجيرا فا ستو فى منه ولم يعطه اجر ه
. (رواه البخارى)
Artinya:
“Tiga orang (golongan) yang aku memusuhinya besok di hari kiyamat, yaitu orang yang memberi kepada-ku kemudian menarik kembali, orang yang menjual yang merdeka kemudian makan harganya, orang yang mengupahkan dan telah selesai tetapi tidak memberikan upahnya”. (HR. Bukhari).[3]

Sabda Nabi saw.
اعطوا الا جير قبل ان يجف عرقه (رواه ابن ماجه).
Artinya: “Berikan kepada buruh ongkosnya sebelum kering peluhnya”. (HR. Ibnu Majah).
Dalam hal upah, memberikan upah setelah ada ganti dan yang diupah tidak berkurang nilainya. Seperti: memberi upah kepada orang yang menyusui. Upah ini diberikan sebab menyusui, tidak karena air susunya, tetapi mengerjakannya. Sebagaimana orang menyewa rumah, didalamnya ada sumur. Boleh mengambil air sumur, dan nilai rumah dan sumur tidak berkurang. Tidak boleh menyewakan dengan mengurangkan nilai yang disewa. Seperti menyewa kebun yang berbuah, menyewa kambing karena susunya atau ambil anaknya. Sebab yang demikiaan mengurangkan nilainya. Juga tidak menyewakan barang-barang yang bermanfaat atau barang-barang yang dilarang. Sebab termasuk makan yang batal. Tidak boleh memberi upah kepada penyanyi, dan orang membawa khamr. Upah harus jelas. Artinya sebelum pekerjaan dilaksanakan, harus sudah ada ketentuan yang pasti, tidak boleh gharar. Semua benda yang membawa manfaat tanpa mengurangi nilainya, boleh disewakan, seperti:rumah, kendaraan, tanah untuk ditanami. Yang diupahkan mesti membawa manfaat yang jelas. Maka tidak boleh mengupahkan orang buta untuk menjaga sesuatu, juga tanah yang tidak berair sehingga tidak dapat ditanami dan lain-lain.[4]
C.               Syarat-syarat Ijarah
Dalam akad ijarah ada empat macam syarat sebagaimana dalam akad jual beli, yaitu syarat wujud (syarth al-in’iqaad), syarat yang berlaku (syarth an-nafaadz), syarat sah (syarth ash-sih-hah), dan syarat kelaziman (syarth al-luzuum).
1.                 Syarat wujud (syarth al-in’iqad)
Ada tiga macam syarat wujud; sebagian berkaitan dengan pelaku akad, sebagian berkaitan dengan akad sendiri, dan sebagian lagi berkaitan dengan tempat akad.[5] Syarat yang berkaitan dengan pelaku akad, yaitu berakal (pelaku akad orang berakal). Sebagaimana dalam jual beli, akad ijarah yang dilakukan oleh orang gila, atau anak kecil tidak mumayyiz adalah tidak sah. Menurut ulama Hanafiyah, mencapai usia balig tidak termasuk  syarat wujud atau syarat berlaku. Jika ada anak kecil mumayyiz yang menyewakan harta atau dirinya, maka apabila diizinkan oleh walinya maka akad itu dianggap sah; dan apabila ia dibatasi hak membelanjakan hartanya, maka tergantung pada izin walinya.[6]       Ulama Malikiyah berpendapat bahwa mencapai usia mumayyiz adalah syarat dalam ijarah dan jual beli, sedangkan balig adalah syarat berlaku (syarth an-nafaadz). Jika ada anak yang mumayyiz menyewakan diri atau hartanya, maka hukumnya sah dan akad itu digantungkan pada kerelaan walinya.[7]
 Adapun ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa syarat taklif (pembebanan kewajiban syariat), yaitu balig dan berakal, adalah syarat wujud akad ijarah karena ia merupakan akad yang memberikan hak kepemilikan dalam kehidupan sehingga sama dengan jual beli.[8]
2.                 Syarat Berlaku (Syarth an-Nafaadz)
Syarat berlaku akad ijarah adalah adanya hak kepemilikan atau kekuasaan (al-wilaayah). Akad ijarah yang dilakukan oleh seorang fudhuli (orang yang membelanjakan harta yang tanpa izinnya,) adalah tidak sah karena tidak adanya kepemilikan atau hak kuasa. Menurut Hanafiyah dan malikiyah, akad ini digantungkan pada persetujuan dari pemilik sebagaimana berlaku dalam jual beli.hal ini berbeda dengan pendapat ulama Syafi’iyah dan Hanabilah.
Terdapat beberapa syarat agar sebuah persetujuan dari pemilik dapat berlaku pada akad ijarah yang tergantung, diantaranya adanya wujud objek ijarah. Jika ada seorang fudhuli melakuakan akad ijarah lalu mendapatkan persetujan dari pemilik, maka perlu diperhatikan hal berikut.[9]
Jika persetujuan akad tersebut terjadi sebelum manfaat barang digunakan, maka akad ijarah itu sah dan pemilik barang berhak atas upahnya karena objek akadnya ada.
Sebaliknya, jika persetujuan atas akad terjadi setelah manfaat barang digunakan, maka akad itu tidak sah dan upah dikembalikan ke pelaku akad, karena objek akad telah lenyap sehingga tidak ada pada saat pelaksanaan akad ijarah. Maka akad itu menjadi ridak ada karena tidak terdapat objek akadnya sehingga akad ijarah-nya tidak sah–sebagaimana yang kita ketahui dalam akd jual beli. Dengan demikian, pelaku akad fudhuli dianggap sebagai pelaku ghashab ketika ia mengembalikan barang kepada pemiliknya.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa jika pelaku ghashab menyewakan barang ghashab lalu menyerahkannya kembali kepada pemiliknya dan ia menyetujui penyewaan itu, maka jika waktu ijarah telah habis, upah adalah hak pelaku ghashab karena objek akad telah lenyap dan persetujuan pemilik tidak berlaku pada sesuatu yang tidak ada.[10]
3.                 Syarat Sah (syarth ash-shihhah)
Syarat sah ijarah berkaitan dengan pelaku akad, objek akad, tempat, upah, dan akad itu sendiri. Diantara syarat sah akad ijarah adalah sebagai berikut.
a.                 Kerelaan Kedua Pelaku Akad
Syarat ini diterapkan sebagaimana dalam akad jual beli. Allah berfirman,
“Wahai orang-orang yang beriman! janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka diantara kamu . dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah maha penyayang kepadamu.” (an-Nisaa’ : 29)
Ijarah disebut juga tijarah (perdagangan) karena didalamnya ada nilai pertukaran harta dengan harta.[11]
b.                 Hendaknya Objek Akad (Yaitu Manfaat) Diketahui Sifatnya Guna Mengindari Perselisihan
Jika manfaat itu tidak jelas dan menyebabkan perselisihan, maka akadnya tidak sah karena ketidakjelasan menghalangi penyerahan dan penerimaan sehingga tidak tercapai maksud akad tersebut. Kejelasan objek akad (manfaat) terwujud dengan penjelasan tempat manfaat, masa waktu, dan penjelasan objek kerja dalam penyewaan para pekerja.
1). Penjelasan Tempat Manfaat
Penjelasan tempat manfaat adalah dengan mengetahui barang yang disewakan. Jika ada orang berkata, “Saya sewakan salah satu dari rumah ini atau salah satu kendaraan ini atau salah satu pekerjaan ini,” maka hukum akad ini tidak sah karena adanya ketidakjelasan dalam barang yang disewakan. Menurut pendapat ulama Hanafiyah yang masyur, yaitu perkataan Abu Hanifah dan Abu Yusuf, tidak boleh seseorang menyewa sungai kering atau tempat tertentu untuk mengalirkan air guna mengairi tanahnya. Karena ukuran banyak sedikitnya air yang dialirkan kesungai tersebut adalah berbeda. Air dalam jumlah banyak dapat membahayakan sungai itu. Sesuatu yang berbahaya tentu saja dikecualikan dalam akad secara tidak langsung. Sedangkan jumlah sedikitnya air tidak memiliki ukuran yang tepat. Dengan demikian, tempat akad tersebut statusnya tidak jelas.
Adapun menurut Muhammad, hukumnya adalah boleh. Hal yang menghalangi dibolehkannya akad adalah ketidakjelasan tempat dan ketidakjelasan itu sudah hilang dengan penentuan.[12]
2). Penjelasan Masa Waktu
Penjelasan masa waktu adalah hal yang sangat penting dalam penyewaan apartemen, rumah, toko, dan dalam penyewaan seorang perempuan untuk menyusui. Hal itu karena objek akad menjadi tidak jelas kedarnya kecuali dengan penentuan waktu tersebut. Oleh karena itu, tidak menyebutkan masa waktu akan menyebabkan pertikaian.
Ijarah hukumnya sah, baik dalam waktu yang panjang maupun pendek. Ini adalah pendapat mayoritas ulama, termasuk ulama syafi’iyah dalam pendapat yang shahih. Mereka mengatakan bahwa akad ijarah adalah sah dalam waktu yang diperkirakan bahwa barang tersebut masih eksis menurut pandangan para ahli. Masa penyewaan tidak ada batas terlamanya karena ada ketentuannya dalam syar’i.[13]
3). Ijarah Musyaharah (Penyewaan Perbulan)
Syafi’iyah sangat ketat dalam mensyaratkan waktu. Dalam pendapat shahihnya, mereka mengatakan bahwa jika ada seseorang menyewakn rumah setiap bulan satu dinar, atau setiap hari, atau setiap jum’at atau satiap tahun, maka akad ijarahnya batal. Hal iti karena setiap bulan ia membutuhkan akad baru karena ia telah menyendirikan upah untuk setiap bulannya. Dan, akad perbulan tersebut tidak ada sehingga akad pertama menjadi batal. Ditambah lagi masa waktu ijarah tidak jelas sehingga hal ini seperti jika seseorang mengatakan, “Saya sewakan kepadamu sebentar atau sebulan.
Adapun menurut mayoritas ulama, akad ijarah itu dianggap sah pada bulan pertama dan statusnya mengikat. Sedangkan bulan-bulan setelahnya tidak mengikat kecuali setelah masuk pada bulan-bulan itu. Karena dengan masuknya kebulan-bulan itu dan telah adanya akad yang berisi kesepakatan upah dan kerelaan penggunaan barang sewa, maka hal itu dianggap memulai akad lagi. Hal ini seperti dalam jual bali mu’athah (jual beli tanpa sighah ijab dan qabul,) jika dalam proses tawar-menawar terdapat unsur kerelaan darinya.
4). Penjelasan Objek Kerja
Penjelasan objek kerja dalam penyewaan tenaga kerja adalah sebuah tuntutan untuk menghindari ketidakjelasan. Hal itu karena ketidakjelasan objek kerja dapat menyebabkan perselisihan dan mengakibatkan rusaknya akad.
5). Penentuan Waktu Dan Objek Kerja Sekaligus
Menurut ulama Hanafiyah, penentuan jenis kerja dalam penyewaan manfaat barang tidak disyaratkan. Sehinnga, apabila ada orang menyewa rumah atau toko  dan tidak menyebutkan apa yang akan kita kerjakan didalammya, maka hukumnya boleh.[14]
c.                  Hendaknya Objek Akad Dapat Diserahkan Baik Secara Nyata (Hakiki) Maupun Syara
 Menurut sepakan fuqaha, akad ijarah tidak dibolehkan terhadap sesuatu yang tidak dapat diserahkan, baik secara nyata (hakiki).[15]
d.                 Hendaknya Manfaat yang Dijadikan Objek Ijarah Dibolehkan Secara Syara
Hendaknya manfaat yang dijadikan objek ijarah dibolehkan secara syara. Contohnya, menyewakan kitab untuk ditelaah, dibaca, dan disadur; menyewakan apartemen untuk ditempati; jaring untuk berburu, dan sebagainya.
e.                  Hendaknya Pekerjaan yang Ditugaskan Bukan Kewajiban Bagi Penyewa Sebelum Akad Ijarah
Implikasi dari syarat ini, tidak sah ijarah dari mengerjakan kewajiban karena seseorang melakukan kewajibannya tidak berhak mendapatkan upah dari pekerjaaan itu, seperti orang yang membayar utangnya. Sehingga tidak sah melakukan ijarah untuk amalan ibadah dan ketaatan, seperti shalat, puasa, haji, menjadi imam, adzan, dan mengajarkan Al-Qur’an karena itu adalah penyewa dalam amalan wajib.
1)                Hukum Mengambil Upah dari Ibadah
عن عبد الرﱠ حمن بن شبل, عن اانبي قال : اقرءوا القرﺁن ولأ تغلوا فيه ولأ تجفوا عنه, ولأ تأ كلوا به ولأ تستكثروا به (رواه أحمد)
        Dari Abdurrahman Bin Syibl RA, dari Nabi SAW, “Bacalah Al-   Qur’an dan jangan kalian berlebihan padanya tapi jangan pula kendur terhadapnya. Janganlah kalian makan dari (upahnya), dan janganlah banyak meminta dengannya.” (HR. Ahmad).
Pensyarah Rahimahullah Ta’ala mengatakan: Hadits-hadits di atas dijadikan dalil oleh mereka yang menganggap tidak halalnya mengambil upah dari mengajarkan Al-Qur’an. Adapun Jumhur berpendapat halalnya mengambil upah dari mengajarkan Al-Qur’an.        
Disebutkan dalam Al-Iktiyarat: Mengambil upah dari sekedar membaca Al Qur’an tidak pernah dikatakan oleh seorang imam pun. Adapun yang mereka perselisihkan adalah mengambil upah dari mengajarkan Al Qur’an.[16]
Lalu para ulama belakangan berfatwa dibolehkannya seorang pengajar Al-Qur’an mengambil upah yang sepadan sesuai dengan masanya dalam mengajarkan Al-Qur’an.
Menurut Imam Malik dan Imam Syafi’i, dibolehkan melakukan ijarah dalam mengajarkan Al-Qur’an karena objek kerjanya jelas dan upahnya juga jelas. Selain itu, Rasulullah pernah menikahkan seseorang dengan Al-Qur’an sebagai maharnya. Sehingga dibolehkan menjadi Al-Qur’an barang pengganti. Rasulullah juga bersabda,
“Sesungguhnya sesuatu yang paling berhak engkau ambil upah darinya adalah (mengajarkan) Al-Qur’an. (Hadits shahih).[17]
f.                   Orang yang Disewa tidak Boleh Mengambil Manfaat dari Pekerjaannya
Jika ia mengambil manfaat, maka tidak dibolehkan. Tidak sah ijarah untuk ketaatan kerena ia mengerjakan untuk kepentingan sendiri.
g.                 Manfaat dari Akad Itu Harus Dimaksudkan dan Biasa Dicapai Melalui Akad Ijarah
Tidak dibolehkan menyewakan pohon untuk menjemur pakaian dan berteduh karena manfaat itu tidak dimaksudkan dari kegunaan pohon tersebut.[18]
4.                 Syarat Kelaziman
Syarat-syarat luzuum transaksi harus diperhatikan setelah syarat-syarat sah dan berlakunya transaksi setelah terpenuhi. Dimaksudkan  dengan syarat luzuum transaksi adalah transaksi yang dilakukan oleh kedua belah pihak pihak lolos dari pemberlakuan hak untuk meneruskan atau membatalkan transakasi oleh salah satu pelaku transaksi seperti hak khiyar syarth (meneruskan atau membatalkan transaksi karena salah seorang dari pelaku transaksi atau keduanya mensyaratkan adanya hak bagi keduanya untuk membatalkan transaksi samapi waktu yang tertentu).[19]
Disyaratkan dua hal dalam akad ijarah agar akad ini menjadi lazim (mengikat).
a.                 Terbebasnya barang yang disewakan dari cacat yang merusak pemanfaatannya.
b.                 Tidak terjadi alasan yang membolehkan mem-fasakh (membatalkan) ijarah.[20]
5.                 Syarat Objek Akad
Apabila objek akad termasuk barang bergerak, maka disyaratkan terjadinya penerimaan. Jika tidak, maka hukumnya tidak sah. Hal ini karena Nabi saw. melarang jual beli barang yang belum diterima. Dan ijarah adalah salah satu bentuk jual beli. Adapun objek akad adalah barang yang tidak bergerak, maka terdapat perbedaan yang telah disebutkan dalam pembahasan jual beli fasid.
6.                 Syarat-syarat Ujrah (Upah)
Ada dua macam, yaitu sebagai berikut,
a.                 Hendaknya upah tersebut harta yang bernilai dan diketahui.
b.                 Upah tidak berbentuk manfaat yang sejenis dengan ma’quud Alaih(objek akad).[21]
D.               Pembayaran Upah
Pada dasarnya upah diberikan seketika juga, sebagimana jual beli yang pembayarannya waktu itu juga. Tetapi sewaktu perjanjian boleh diadakan dengan mendahulukan upah atau mengakhirkan. Jadi pembanyarannya sesuai dengan perjanjiannya. Tetapi kalau ada perjanjian, harus segera diberikan manakala pekerjaan sudah selesai. Nabi berkata : upah harus diberikan sebelum pelunya kering.[22]
E.               Sifat Dan Konsekuensi Hukum Ijarah
1.                 Sifat Ijarah
Ijarah menurut ulama Hanafiyah adalah akad lazim (mengikat), hanya saja boleh di batalkan (fasakh) dengan sebab adanya uzur, seperti yang telah diketahui. Hal ini didasarkan pada firman Allah,
  ..”...Penuhilah janji-janji..” (al-Maidah:1)
Secara hukum asal, fasakh bukanlah termasuk dalam memenuhi akad.
Sedangkan menurut mayoritas (jumhur) ulama, ijarah adalah akad lazim (mengikat) yang tidak dapat dibatalkan kecuali dengan hal-hal yang dapat membatalkan akad-akad lazim, seperti cacat atau hilangnya objek manfaat. Hal ini berdasarkan firman Allah,
..”...Penuhilah janji-janji..” (al-Maidah:1)
Selain itu karena akad ijarah adalah akad terhadap manfaat maka ia mirip dengan nikah. Dan, karena ia adalah akad mu’awadhah (tukar-menukar) maka tidak dapat dibatalkan seperti jual beli.[23]
2.                 Konsekuensi Hukum Ijarah
Konsekuensi hukum ijarah yang shahih adalah penetapan hak kepemilikan manfaat bagi penyewa dan penetapan hak kepemilikan upah yang disepakati bagi orang yang menyewakan. Hal itu karena ijarah adalah akad mu’awadhah (tukar-menukar) karena ia adalah jual beli manfaat.
Konsekuensi hukum ijarah yang tidak sah adalah jika penyewa telah mengambil manfaat maka ia wajib membayar upah yang berlaku umum, yaitu tidak melebihi upah yang telah ditetapkan.
F.                Jenis Dan Konsekuensi Hukum Ijarah
1.                 Hukum Ijarah Manfaat
Ijarah manfaat seperti ijarah rumah, warung, kebun, binatang tunggangan untuk ditunggangi dan membawa barang, pakaian dan perhiasan untuk dipakai, wadah dan bejana untuk digunakan.
a.                 Cara Tercapainya Akad Ijarah Manfaat
Ulama Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa tercapai sedikit demi sedikit mengikuti muncul dan adanya objek akad, yaitu manfaat. Hal itu karena manfaat tersebut terjadi atau diambil secara sedikit semi sedikit.
b.                 Cara Memanfaatkan Barang Yang Disewakan
Jika seseorang menyewa rumah atau toko dan sebagainya, maka dia boleh memanfaatkannya sesuai dengan keinginannya, seperti menempatinya sendiri atau memberikan izin orang lain untuk menempatinya dengan akad ijarah atau i’arah.
c.                  Memperbaiki Barang Yang Disewakan
Rumah yang disewakan terkadang memerlukan beberapa perbaikan dalam masa penyewaan, seperti menambal tembok, memperbaiki saluran air yang tersumbat dan peralatan sanitasi yang rusak.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa  orang yang menyewakan atau pemilik rumah – bukan penyewa –yang wajib menambal tembok, memperbaiki saluran-saluran air rumah serta bangunan yang hancur dan runtuh, hingga menjadi layak untuk dimanfaatkan kembali.[24]
d.                 Kewajiban Penyewa Setelah Habisnya Masa Ijarah
1). Penyewa wajib menyerahkan kunci rumah dan toko kepada orang yang menyewakan setelah habis masa sewa.
2). Hukum Ijarah Manfaat
Ijarah atas pekerjaan adalah penyewaan yang dilakukan atas pekerjaan tertentu, seperti membangun bangunan, menjahit baju, membawa barang ketempat tertentu, mewarnai baju, memperbaiki sepatu dan sebagainya.[25]
G.              Tanggung Jawab Orang Yang Menyewa (Ajir)
Orang yang menyewa harus jujur, dapat dipercaya, dan memakai barang sewaannya dengan hati-hati. Kalau dengan cara yang demikian ada kerusakan, maka ia tidak berkewajiban menanggung. Demikian juga orang yang diupah harus jujur dalam melaksanakan pekerjaannya. Kalau tidak ada kejujuran, kerusakan-kerusakan yang disengaja menjadi tanggungannya. Seperti orang menyewa binatang. Ia mengerjakan dengan baik, tiba-tiba mati, ia tidak menanggung. Tetapi apabila ia menggunakannya tanpa kebaikan, apabila mati menjadi tanggungannya. Denagn demikian tidak akan ada tipu muslihat untuk merugikan yang lain.[26]
Adapun membebankan tanggung jawab kepada pembuat sesuatu atas keruskan barang-barang yang telah diserahkan kepada mereka, para ulama berbeda pendapat mengenai hal tersebut:
1.                 Malik, Ibnu Abu Laila, dan Abu Yusuf  berpendapat bahwa meraka (pembuat barang) bertanggung jawab terhadap apa yang rusak ditangan mereka.
2.                 Abu Hanifah berpendapat bahwa para pembuat barang yang tidak mendapatkan upah atau orang khusus, tidak terkena tanggung jawab, sedangkan pembuat barang yang biasa membuat barang untuk orang lain dan mendapatkan upah maka ia terkena tanggung jawab atas kerusakan yang terjadi.
Orang yang k husus menurut mereka adalah pekerja yang ada dirumah penyewa.[27]
a.                 Garansi Barang Yang Disewakan, Jaminan Pekerja, Dan Gugurnya Upah Karena Kerusakan Barang.
1). Jaminan barang yang disewakan
Kuasa penyewa atas barang yang disewakan dalam ijrah manfaat dianggap sebagai kekuasaan yang bersifat amanah (yad amanah).
2). Jaminan pekerja
Kita telah mengetahui bahwa pekerja yang disewa ada dua macam, yaitu pekerja khusus (ajir khash) dan pekerja umum (ajir ‘am). Pekeja khusus adalah orang yang berhak memperoleh upah dengan menyerahkan dirinya pada masa tertentu, sekalipun tidak bekerja, seperti pembantu rumah dan penjaga toko. Sedangkan pekerja umum adalah orang yang bekerja untuk umum atau orang yang mendapat upah dengan sebab penyerahan dirinya, seperti pengrajin, tukang warna pakaian, tukang pemutih pakaian dan sebagainya.[28]
H.              Gugurnya Upah
Kematian orang yang mengupah atau yang diupah tidak membatalkan akad pengupahan. Artinya: kalau orang yang mengupah mati, padahal permintaanya sudah dikerjakan oleh orang yang diupah, keluarganya wajib memberikan upahnya. Tetapi kalau orang yang diupah mati sebelum menerima upahnya, ahli warisnya menerima upahnya. Tetapi kalau mati sebelum menyelesaikan pekerjaannya, urusannya ditangan Tuhan.
Kalau yang diupahkan rusak, umpamanya : binatang mati, kain sobek, bisa dilihat. Kalau rusaknya setelah diserahkan kepada yang mengupah namun belum mencukupi ketentuan pekerjaan (yang harus dikerjakan) akad itu menjadi batal. Tetapi kalau sudah mencukupi ketentuannya, tidak batal, namun batal untuk yang akan datang.[29]
a.                 Gugurnya Upah Pekerja Karena Kerusakan Barang Penyewaan Pekerjaan
Jika barang berada dibawah kekuasaan pekerja, maka terdapat dua hal berikut.
1). Jika pekerja itu memiliki hasil yang jelas pada fisik barang, seperti menjahit,  mewarnai dan memutihkan kain, maka wajib memperoleh upah dengan penyerahan hasil yang diminta. Tetapi, jika barangnya rusak ditangan pekerja sebelum adanya penyerahan, maka upahnya hilang (gugur).
2). Jika pekerjaan tersebut tidak memiliki hasil yang jelas dalam fisik barang, seperti tukang panggul dan pelaut, maka wajib memperoleh upah dengan hanya menyelesaikan pekerjaannya, sekalipun belum menyerahkan fisik barang kepada pemiliknya.
I. Berakhirnya Akad Ijarah
Pertama, ijarah habis - menurut ulama Hanafiyah, seperti telah kita ketahui dalam pembahasan sifat ijarah-, dengan meninggalnya salah satu pelaku akad.
Kedua, ijarah juga habis dengan adanya pengguguran akad (iqalah). Hal itu karena akad ijarah adalah akad mu’awadhah (tukar-menukar) harta dengan harta, maka dia memungkinkan untuk digugurkan seperti jual beli.
Ketiga, ijarah habis dengan rusaknya barang yang disewakan.
Keempat, ijarah habis dengan sebab habis masa ijarah kecuali   karena uzur (halangan), karena sesuatu yang ditetapkan sampai batas tertentu maka ia dianggap habis ketika sampai pada batasnya itu.[30]



BAB III
PENUTUP
A.          Kesimpulan
Pada dasarnya, ijarah di defnisikan sebagai hak untuk memanfaatkan barang atau jasa dengan membayar imbalan tertentu. ada yang menerjemahkan, ijarah sebagai jual beli jasa (upah-mengupah), yakni mengambil manfaat tenaga manusia, ada pula yang menerjemahkan sewa-menyewa, yakni mengambil manfaat dari barang.
Dalam akad ijarah ada empat macam syarat sebagaimana dalam akad jual beli, yaitu syarat wujud (syarth al-in’iqaad), syarat yang berlaku (syarth an-nafaadz), syarat sah (syarth ash-sih-hah), dan syarat kelaziman (syarth al-luzuum).

B.     Saran
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami berharap semoga makalah ini bisa menjadi inspirasi dan motivasi agar teman-teman bisa membuat makalah yang lebih sempurna.




DAFTAR PUSTAKA

Al Imam Asy-syaukani, 2006, Nailul Autar, Jakarta : Pustaka Azzam.

Drs. Moh. Rifa’i – Drs. Moh. Zuhri – Drs. Salomo, 1978,  Rifayatul Akhyar, Semarang : PT. Karya Toha Putra.

Ibnu Rusyd 2, Bidayatul Mujtahid, 2011,  Jakarta : Pustaka Azzam.


Prof. DR. Wahbah Az-Zuhaili, 2007,  Fiqih Islam Wa Adillatuhu  jilid 5, Jakarta : Darul Fikir






Tidak ada komentar:

Posting Komentar